Review Buku: Sampar (Albert Camus)
Judul : Sampar (Fiksi – Naskah Drama)
Penulis : Albert Camus
Penerbit : Narasi – Pustaka Promethea
(Yogyakarta, 2017)
Tebal : 130 Halaman
Rating : 4/5
“Dan jika kamu tidak memberikan roti kepada orang miskin, maka tidak ada kemewahan, tidak ada pidato-pidato yang baik, tidak ada janji-janji indah yang kaubuat dapat memperoleh pengampunan kami.” (hal. 65)
Dunia ini membutuhkan pemberontak untuk mendobrak hal-hal
yang dirasa nyaman bagi banyak orang, padahal hal-hal tersebut ganjil. Albert
Camus, adalah salah satu penulis yang acap kali mengangkat isu pemberontakan
dalam buku-buku nya, sebut saja dalam buku Sampar ini.
Buku ini merupakan naskah drama yang diberi judul sama
dengan salah satu novel ciptaan nya. Buku ini merupakan naskah drama tiga babak
yang pertamak kali dipentaskan di Paris pada tahun 1948. Jika sekilas melihat
buku ini dari sampulnya, gue bisa berasumsi bahwa buku ini tidak akan menarik
pasar pembaca baru di kalangan karya Albert Camus, karena bisa dilihat dari
desain sampulnya yang sangat polos dan terlalu sederhana ini. Namun, bagi pembaca yang sudah mengenal
atau minimal pernah membaca karyanya Camus, mereka akan mengabaikan perkara
desain sampul yang sepele ini.
Ada beberapa hal menarik yang bisa gue lihat dari naskah
drama ini, pertama, buku ini memuat
22 penokohan yang mana hampir setengahnya merupakan penokohan yang tidak
terlalu penting dan hanya muncul satu atau dua kali dalam naskah. Hanya ada
beberapa tokoh penting dalam naskah ini yang hampir selalu muncul, seperti
Diego, Victoria, Sampar, Sekretaris, Nada, dan lain-lain.
Kedua, tokoh
Sampar dalam naskah ini merupakan tokoh yang misterius, terutama pada peran
nya. Sampar adalah seorang diktator yang mengambil alih sebuah kota tanpa ada
perang, baku tembak, ataupun kecamuk. Sampar kemudian menjadi pemimpin yang
mengambil alih kuasa di kota Cadiz tersebut. Kedatangan yang tanpa sebab ini,
atau bahkan sosok Sampar itu sendiri merupakah sebuah keganjilan dimana sampar
merupakan sebuah wabah mematikan, namun di sini ia adalah sesosok makhluk yang
menjadi seorang diktator dan mengambil alih kota (dan juga tentunya membawa
wabah sampar pada warga kota).
Ketiga, naskah
drama ini mengangkat isu pemberontakan dan solidaritas yang kuat dan kental
melalui tokoh Diego. Diego, pemuda yang memberontak pada Sampar padahal ia
sudah memiliki 2 tanda wabah yang seharusnya menjadikan ia lemah. Diego jugalah
yang membangkitkan semangat para warga yang sudah pasrah akan kehidupan (atau
kematian) untuk kembali berjuang melawan Sampar agar memperoleh hak kebebasan
mereka kembali, walaupun pada awal pemberontakannya ia tidak mendapat dukungan
sedikitpun dari warga yang takut terkena (atau tambah terjangkit) wabah sampar.
Terakhir, naskah
drama ini membantu para sutradara yang hendak mengangkatnya ke pentas dengan
gambaran-gambaran panggung yang detail. Seperti tata letak bangunan, tata pencahayaan, bahkan tata suara.
Detail-detail itu juga dapat membantu pembaca untuk mengimajinasikan kota Cadiz
dalam bentuk panggung teater, bukan dalam bentuk kota sesungguhnya. Namun tentu
saja pakem-pakem itu bisa diabaikan
bagi sutradara yang ingin menggarap naskah ini dengan caranya sendiri, ya,
memberontak pada dikte naskah.
Kalian yang membaca review ini mungkin bisa sedikit menduga
bahwa naskah drama ini dipenuhi simbol-simbol yang dibawa pada penokohan nya,
namun pada kata pengantar di awal buku ini, Albert Camus membuat beberapa klaim
terkait buku ini, yaitu:
- Jangan mengenakan simbol-simbol tertentu pada tokoh-tokoh dalam naskah ini, Camus justru ingin membebaskan tokoh-tokoh rekaan nya dari tuduhan simbolis dan psikologis yang acap kali pembaca lakukan.
- Jangan jadikan buku ini panduan dalam berpikir atau dalam menilai dunia dan kehidupan. Camus hanya ingin menjadikan naskah dramanya ini sebagai alat bantu dalam penilaian kita terhadap dunia, bukan sebagai tuntunan penilaian mutlak.
Dua klaim tersebut cukup antisipatif dan mematahkan
kebiasaan pembaca yang melekatkan simbol-simbol psikologis tertentu pada tokoh
dalam karya sastra, dan juga pembaca yang suka menjadikan karya sastra
(terutama sastra tinggi) menjadi pedoman dalam memandang suatu perkara. Namun bagaimanapun,
naskah ini merupakan naskah absurd yang Camus sendiri menyatakan bahwa naskah
ini bukanlah naskan drama dalam konsep klasik, jadi kita sebagai pembaca tidak
harus terlalu serius dalam menanggapi ide-ide Camus dalam naskah ini.
Terakhir, gue sangat menyarankan buku ini buat kalian yang
suka membaca karya sastra dalam bentuk naskah drama karena naskah ini
bergaransi kualitas tinggi. Naskah ini juga sangat bisa dibaca oleh pembaca
pemula yang ingin mencoba membaca naskah drama, karena detail tata panggung
yang membantu pengimajinasian pembaca tadi.
Saya baru membeli bukunya, dan awalnya bingung memahami isinya. Tapi review ini membantu saya dalam memahami buku Sampar. Makasih ya
BalasHapusHai.
HapusTerimakasih sudah mampir.
Alhamdulillah jika review ini bermanfaat :)
Komen yang bagus:Jangan mengenakan simbol-simbol tertentu pada tokoh-tokoh dalam naskah ini, Camus justru ingin membebaskan tokoh-tokoh rekaan nya dari tuduhan simbolis dan psikologis yang acap kali pembaca lakukan.
BalasHapusOrang suka mengada-ada dengan simbolisme, psikologis, padahal ngga begitu maksud penulisnya.
Boleh saya berbagi article tentang Wawancara dengan Albert Camus (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html
Artikel yang menarik... semoga terus berkembang.... Saya ingin berbagi article tentang Wawancara dengan Albert Camus (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html
BalasHapusSaya ingat apa yang ditulis Albert Camus di The Fall: " Saya ada di sini tanpa berada di sini: Saya absen pada saat ketika saya mengambil hampir seluruh ruang. Saya tidak pernah benar-benar tulus dan antusias kecuali ketika saya dulu menikmati olah raga, dan di dalam ketentaraan, ketika saya dulu bermain sandiwara untuk menghibur diri kami sendiri. "
BalasHapusSaya mencoba menulis sebuah blog tentang dia, smoga anda suka: https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html