Review Buku: Jangan Membunuh di Hari Sabtu (Satmoko Budi Santoso)*
Judul buku : Jangan Membunuh di Hari Sabtu
Penulis : Satmoko Budi Santoso
Penerbit : Penerbit Jendela (Jogjakarta, Mei 2003)
Tebal buku : 164 Halaman
Rating : 3/5
-----------------------------------------------------------------------
Kematian memang sesuatu yang pasti datang pada manusia, namun tidak semua manusia mampu mempersiapkan diri dan mental untuk menghadapi kematian tersebut. Kematian merupakan perkara rumit yang datang satu paket dengan sebab dan akibat nya. Kita tanpa sadar selalu akan mempertanyakan sebab kematian yang menimpa karib kerabat kita, kita juga akan terlibat dalam berbagai urusan-urusan yang bersifat budaya dan ritual pasca-kematian nya.
Buku berjudul nyentrik ini adalah salah satu karya sastra yang menggambarkan bagaimana manusia berkutat dengan kematian dan juga intriknya, yaitu kejadian saat pra- dan pasca-kematian tersebut. Judul buku “Dilarang Membunuh di Hari Sabtu” itu sendiri diambil dari judul cerpen yang terkandung dalam buku kumpulan cerpen ini.
Adalah Satmoko Budi Santoso, penulis asal Jogja dan juga kontributor rutin berbagai media cetak ternama untuk konten sastra dan essai, yang meracik cerpen-cerpen keren yang terkumpul menjadi buku kumpulan cerpen ini. Media cetak ternama seperti Kompas, Tempo, Republika, dan Jakarta Post, sudah sering menampilkan karya-karya nya dalam lembaran media yang mereka cetak. Cerpen-cerpen nya juga sering menjadi bagian berbagai buku antologi cerpen di Indonesia.
Secara garis besar, 22 cerita yang terdapat dalam buku ini dapat dikategorikan menjadi 2 kategori berdasarkan tema yang diangkatnya. Kedua tema tersebut ialah: pra-kematian dan pasca-kematian. Cerita-cerita pada kategori pra-kematian berkutat dengan intrik yang terjadi sebelum kematian itu sendiri, seperti pada cerita Bolehkah Aku Dikubur Berdiri, si tokoh utama yang akan menghadapi kematian ini membisikkan sebuah wasiat pada istrinya berupa permintaan untuk dikubur dalam posisi berdiri. Dilema yang terjadi di sini yaitu seputar keanehan dan ke-tabu-an permintaan suami nya tersebut. Dilema juga terjadi dalam diri sang suami yang takut wasiatnya tidak dilaksanakan karena dia merasa permintaan nya sangat aneh.
Sementara itu, salah satu cerita mengenai intrik pasca-kematian adalah cerita yang berjudul Hari Jumat di Kampung Safir. Pada cerita ini, seorang musafir singgah di sebuah desa berpenduduk Muslim yang sedang hiruk-pikuk karena kematian seorang ateis. Seorang ateis ini diketahui memiliki permintaan pada ayahnya untuk diperlakukan sebagai seorang ateis kalau ia mati. Memenuhi permintaan nya sama saja menghilangkan ritual keagamaan seperti memandikan mayat, men-shalat-kan mayat, dan juga mendoakan nya setelah dikuburkan. Kebingungan inilah yang membuat desa tersebut heboh dan mengakibatkan banyak dari warga justru mundur dan pulang ke rumah masing-masing setelah tahu bahwa mayat yang sedang berada di hadapan nya adalah mayat seorang ateis.
Satmoko Budi Santoso menggunakan nama-nama asing yang lebih terkesan tipikal nama orang barat dalam cerita-ceritanya. Ditambah lagi dengan set cerita yang terkesan sengaja dibuat tidak familiar dengan lingkungan pembaca, menjadikan buku ini terlihat seperti sebuah buku sastra terjemahan. Dengan fakta bahwa buku ini adalah kumpulan cerpen, dan juga penarasian nya yang mengalir, sederhana dan ringan, buku ini sangat nyaman untuk dibaca di waktu senggang.
--------------------------------------------------------------------------------------------
*Review ini merupakan penerbitan ulang dari tulisan saya yang terbit di web Kupasanbuku
Komentar
Posting Komentar