Review Buku: Dongeng Pendek Tentang Kota-Kota Dalam Kepala (Mashdar Zainal)





“Kita berada di zaman Post-Truth, dimana manusia menganggap fakta dan kejadian nyata sebagai fiksi, namun sebaliknya justru mencari fakta sejarah atau kebenaran dari cerita-cerita fiksi.”
-Djoko Saryono, 2017
-------------------------------------------------------------------------------------

Judul                 : Dongeng Kota-kota dalam Kepala
Penulis              : Mashdar Zainal
Kata Pengantar : Djoko Saryono
Penerbit            : DIVA Press
Tahun terbit      : 2017
Tebal buku        : 216

-------------------------------------------------------------------------------------

Sebagai warga Indonesia, telinga kita tentu sudah sangat familiar dengan kata ‘dongeng’. Biasanya cerita anak sebelum tidur, atau cerita-cerita lawas tentang kejadian pada zaman dahulu yang entah benar-benar terjadi atau tidak. Fitur-fitur cerita nya pun sering kali tak lepas dari makhluk imajinatif atau makhluk mitos, dongeng-dongeng ini tentunya dangat digemari karena tipe penutup cerita nya yang selalu happy ending.

Namun ada yang berbeda dari buku ini yang mengklaim dirinya sebagai buku dongeng. Dimana karakteristik dongeng-dongeng dalam buku ini tidaklah berlatar waktu zaman baheula, ceritanya yang cenderung realistis dan juga cenderung diakhiri dengan sad ending atau open ending. Dongeng-dongeng dalam buku ini pun sama sekali tidak akan memenuhi syarat untuk dijadikan bed-time stories dikarenakan genre yang dibawakan nya.

Genre yang gue maksud yaitu dark literature. Dark disini bukan berarti horror atau misteri, tapi lebih ke pembawaan suasana cerita yang terkesan sendu, depresif, putus asa, dan kesedihan yang dalam. Jadi secara penggambaran melalui sampul buku, jelas banget penggunaan simbolis dari warna biru disini yang menunjukkan suasana sedih dan sendu. Sampul buku ini juga menarik selain dari warna nya yang biru keseluruhan, juga dari ilustrasi suasana perkotaan modern yang tetap dihiasi dengan sentuhan ‘ke-dongeng-an’ yang membuatnya serasi dengan judulnya.

Lalu dengan berbagai perbedaan nya dengan dongeng yang kita kenal pada umunya, mengapa di Penulis masih keukeuh mengategorikan ini sebagai dongeng? Mungkin beberapa faktor berikut ini dapat menjawabnya:
1. Cerita dalam buku ini masih memiliki pola-pola dongeng. Seperti yang dikatakan Pak Djoko Saryono dalam kata pengantar buku ini, bahwa dongeng-dongeng pada umumnya akan memulai cerita atau paragraph nya dengan kata-kata seperti, “Dahulu kala,…”, “Pernah suatu ketika…”, atau “Di suatu tempat…”, dan semacamnya. Lalu dongeng-dongeng umumnya juga akan melakukan pengulangan frasa atau kalimat dalam paragraph-paragraf nya. Buku ini memiliki pola penarasian yang serupa dengan pola dongeng-dongeng lawas tersebut.
2. Dongeng-dongeng dalam buku ini dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi menarik yang acap kali dapat kita temui di buku-buku dongeng zaman baheula itu.
3. Disamping kerealistisan cerita yang dibawakan nya, penulis mampu menggambarkan sebuah adegan / kejadian realistis dalam penggambaran imajinatif menggunakan simbolis-simbolis atau majas-majas, namun tidak menghilankan esensi kenyataan dari cerita-cerita tersebut.
                
Yaa, secara keseluruhan, buku ini pasti ada kelebihan dan kekurangan nya, kelebihan pertama dari buku ini menurut gue adalah si penulis mampu mengesampingkan isu bahwa dongeng sering dihubungkan dengan bed time stories yang ditujukan untuk anak-anak. Fakta ini bisa dibilang kelebihan dari buku ini karena gue melihatnya sebagai gebrakan yang mencoba keluar dari zona nyaman sebuah dongeng. Kelebihan buku ini yang kedua yaitu, si penulis mampu membawa hati para pembaca ke suasana yang ditempelkan dalam cerita, sehingga pembaca akan merasa berada dalam narasi tersebut sebagai saksi dari kesedihan, keputus asaan, atau keheranan dari tokoh utama nya.

Sementara itu, kekurangan dari buku menurut gue cuman satu, yaitu mengelompokan atau penyusunan urutan cerpen nya yang agaknya berantakan kalau ditilik dari isu atau tema cerita yang dibawa. Karena setelah baca buku ini, sebenernya  cerita-cerita dalam buku ini bisa aja dikelompokkan setidaknya menjadi 3, yaitu: Depresi / putus asa, Sedih, dan Teka-teki. Baik dikelompokkan dengan sub-bab atau hanya dengan urutan penyusunan nya, mungkin itu akan lebih baik dimana pembaca akan merasakan suasana emosi yang dipapah dan tidak akan terjadi emotion swing diantara cerita-ceritanya seperti yang gue alami saat baca buku ini. Selain itu? Hmmm, kayaknya gue belum nemu kekurangan lainnya.

Selanjutnya, penulis jelas aja tidak menargetkan buku ini untuk pembaca di usia anak-anak hingga remaja awal. Dinilai dari genre dan isu cerita yang dibawa dalam buku ini, tentu buku ini bukan buku yang ‘baik’ untuk asupan dan perkembangan psikologis anak. Menurut gue, buku ini cocok untuk dibaca oleh anak muda dalam rentang umur young-adult menuju dewasa, mungkin usia sekitaran 20an atau 30an. Jadi bagi kalian yang berada dalam rentang usia remaja menuju dewasa, dan sudah bosan dengan dikotomi bahwa dongeng itu hanya untuk anak, maka buku ini patut untuk kalian baca agar kalian akan lebih dihinggapi rasa depresi, hilang harapan, dan rasa sedih yang menusuk di dalam hati kalian dalam usia yang rentan ini!

Komentar

Postingan Populer